Rabu, 29 Desember 2010

Cinta yang Terlupakan Bagian 5


Malam itu, seusai shalat isya berjamaah di mesjid dekat kosnya, Haris pun langsung tancap gas menuju kosnya Kak Shafy untuk menjemputnya kemudian bersama-sama menuju rumah sakit Lafalet di tengah kota untuk menjenguk anak Ustadz Ilyas yang sedang sakit keras terkena demam berdarah. Sebentar saja, ia sudah sampai di depan kosnya Kak Shafy, dan ternyata beliau sudah siap di depan kosnya hingga tak lama kemudian mereka berdua berangkat menuju rumah sakit itu. Sebelumnya Kak Shafy sudah mengirim sms kepada Ustadz Ilyas yang mengabarkan bahwa mereka berdua akan berkunjung ke tempat beliau, dan alhamdulillah beliau tidak keberatan.

"Kok bisa ya kak anak beliau terkena DBD? Padahal kan baru saja beberapa hari yang lalu kita berkunjung ke rumah Ustadz Ilyas dan melihat anak beliau, si Fikri baik-baik saja. Bahkan kita sempat bermain-main bersama dia?" tanya Haris yang kaget sekaligus kebingungan.

"Ya begitulah dek yang namanya ketentuan Allah. Kita kan ga akan pernah bisa tau kapan dan apa yang akan terjadi pada kita? Ingat kan kalau manusia itu sangat lemah, bahkan menentukan dia lahir sebagai laki-laki atau perempuan saja tidak bisa kan?" jawab Kak Shafy.

"Iya ya kak, manusia sangat lemah. Tapi anehnya kak ya, manusia yang lemah itu berani mengingkari hukum dan perintah yang Maha Kuat, bahkan sampai ada yang berani membuat hukum juga perintah untuk menandingi hukum dan perintah dari yang Maha Kuat!"

"Itulah manusia yang kelewat batas menggunakan akal dan apa-apa yang diberikan Allah. Misalnya saja akal, Allah memberikan manusia akal agar digunakan untuk menyadari tanda-tanda kekuasaan Allah sehingga manusia bisa membuktikan bahwa Allah itu ada kemudian mengimaninya. Lha ini? Ada saja manusia yang kelewat gila menggunakan akalnya, ia berani menentukan wujud Allah itu seperti apa, malaikat, dls. Bahkan berani mengambil peran dan hak prerogatif Allah untuk membuat hukum peraturan kehidupan ini!"

"Bener-bener manusia yang pantas diazab ya kak?"

"Hmmm.. Bisa jadi!"

Tak terasa perbincangan dengan Kak Shafy telah mengantarkan mereka sampai di depan rumah sakit Lafalet, tempat anak ustadz Ilyas dirawat. Segera saja Haris memarkirkan kendaraannya dan kemudian masuk ke dalam rumah sakit itu melalui pintu masuk utama. Ketika memasuki rumah sakit ini, kesan pertama yang muncul adalah suasana khas zaman dahulu. Rumah sakit yang didominasi dengan warna hijau ini bukanlah rumah sakit dengan gedung tinggi serta ada lift di dalamnya. Bukan! Rumah sakit ini seperti layaknya rumah biasa tanpa lantai bertingkat namun sangat luas. Haris sempat terkagum dengan desain dari tempat itu, unik dan juga masih sangat lekat suasana khas zaman dahulu. Dilihatnya orang-orang berbaju putih lalu-lalang, terlihat sibuk sekali dengan urusan masing-masing. Ada pula pasien-pasien yang keluar dari kamar rawatnya dan berjalan-jalan di areal rumah sakit itu. Mungkin sekedar melepas kepenatan dan juga kebosanan setelah sekian lama berada di dalam kamar rawat.

"Kak, ruangannya anak Ustadz Ilyas yang mana?" tanya Haris tiba-tiba.

"Katanya sih di ruangan bernama Bangsal Melati nomor 10 B!"

Sambil terus berjalan, Haris memperhatikan sekitarnya, dilihat dan dibacanya tulisan-tulisan yang bertebaran di sekitarnya. Bangsal Mawar, Teratai, Pandan, dls. Banyak sekali memang tulisan-tulisan di sana. Kemudian tanpa sengaja matanya menangkap sebuah tulisan yakni Bangsal Melati. Spontan Haris pun memperingati Kak Shafy dan menunjuk kepada tulisan itu. Kak Shafy paham dan mereka pun memutar haluan menuju tempat tulisan itu, ketika sampai di sana ternyata ada begitu banyak bayi yang sedang dirawat sehingga mereka berdua mengambil kesimpulan bahwa memang inilah tempatnya anak ustadz Ilyas dirawat.

Kak Shafy mencoba mengirim sms kepada ustadz Ilyas untuk memberitahukan bahwa mereka berdua sudah berada di depan ruangan yang diberitahukan ustadz Ilyas kemarin. Lama tak ada balasan dari ustadz Ilyas. Sambil menunggu balasan dari beliau, Haris sempat memperhatikan bayi-bayi mungil yang kini sedang dirawat oleh para suster dan juga dokter yang mayoritas memakai baju putih. Wajah bayi-bayi itu begitu polos dan teduh, juga lucu. Begitu damai mereka tertidur di inkubatornya walau sesekali ada pula yang terbangun kemudian menangis keras. Bayi-bayi ini belum tahu bahwa ketika mereka beranjak dewasa nanti, akan ada begitu banyak virus kufur, pemikiran kufur yang akan menodai kesucian jiwa mereka untuk beriman kepada penciptaNya.

Ketika sudah dewasa nanti, mereka akan dihadapkan dengan keadaan ekonomi yang serba sulit, kemudian fakta akan begitu banyaknya kemiskinan di sekitar mereka akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalis yang hanya memihak para pemilik modal dan tidak pernah berpihak kepada rakyat. Kemudian mereka juga akan bertemu dengan tatanan kehidupan yang serba kacau, mereka akan bertemu dengan tindakan kriminalitas dimana-mana, kehidupan yang serba bebas seperti layaknya hewan, aurat wanita murahan yang berhamburan, politik kejam tak berprikemanusiaan yang hanya mengincar materi, nafsu manusia yang mudah sekali diumbar tak terkendali, dan bahkan masih banyak lagi yang lainnya. Ya, semua itu tidak lain adalah penyebab diterapkannya sistem kufur di kehidupan manusia dan sistem kufur itu bernama Demokrasi yang merupakan anak cucu dari sistem kufur Kapitalisme-Sekularisme. Begitu memprihatinkan bagi mereka, para anak-anak tak berdosa ini yang lahir di tengah-tengah diterapkannya sistem kufur ini. Mungkin, jika mereka bisa menawar kepada penciptaNya untuk tidak lahir di tengah-tengah sistem kufur yang saat ini sedang merajalela maka tentu mereka akan melakukannya, namun sayang hal itu tidak bisa terjadi, karena semuanya sudah ditentukan Allah.

Tiba-tiba sms dari Ustadz Ilyas tiba, bunyinya

"Waalaikumussalam. Oh, alhmdllah antm br2 udh smpai. afwn, mhn dtnggu y, ana sdg dlm prjlanan k sna?"

Kak Shafy pun menjawab singkat sms itu yang menyatakan bahwa mereka akan menunggu. Sambil menunggu kedatangan ustadz Ilyas, Haris dan Kak Shafy duduk di sebuah kursi kayu panjang yang terletak tak jauh dari pintu masuk Bangsal Melati.

"Dek, gimana dengan perjalanan antum untuk mencari jawaban pertanyaan dari kakak? Apa sudah sampai pada tempat tujuan dan mendapatkan jawaban?" tanya Kak Shafy tiba-tiba.

Haris mengerti apa yang dibicarakan oleh Kak Shafy, pastilah tentang definisi cinta yang dulu ia tanyakan kepada Kak Shafy namun kemudian Kak Shafy menyuruh Haris agar mencari jawabannya sendiri.

"Hmmm.. Iya sih kak, ana memang sedang melakukan proses mencari jawaban itu, memang ada beberapa kejadian yang ana temukan dan alami yang bisa mendefinisikan jawabannya, tapi ana masih belum yakin dan perlu berbagai pelajaran lagi ke depannya untuk menyempurnakan jawaban itu." terang Haris kepada Kak Shafy.

"Oh begitu, ana mengerti. Semoga secepatnya mendapatkan jawaban yang tepat dan sudah tentu harus sesuai dengan hukum syara." jawab Kak Shafy seraya tersenyum kepada Haris.

"Syukron. Insya Allah kak."

Perjalanan panjang untuk mencari sebuah jawaban, ujungnya memang belum jelas namun cahaya anggun nan suci bersiaga menyambut di ujung jalan. Jalan yang telah dipilih oleh keimanan dan ketakwaan kepada Sang Pencipta. Insya Allah barakah selalu beriring tak terputus.

"Assalamualaikum!" sebuah salam mengagetkan mereka.

"Waalaikumussalam." jawab mereka berdua hampir bersamaan.

Ternyata itu adalah Ustadz Ilyas, beliau ternyata sudah tiba.

"Afwan, sudah lama ya menunggu?" tanya Ustadz Ilyas seraya menyalami mereka berdua.

"Oh tidak ustadz." jawab Haris tersenyum.

"Afwan ya, ana tadi pergi membeli makanan sebentar. Ayo, mari masuk, kita duduk-duduk di depan kamar anak ana dirawat aja!" ajak Ustadz Ilyas.

Mereka bertiga pun masuk dan bersama-sama menuju ke teras depan sebuah kamar bernomorkan 10 B dan duduk bersama di depan kamar tersebut. Di sana juga ada orang-orang yang sedang duduk dan asyik mengobrol, mungkin mereka juga sedang menunggui keluarga ataupun teman mereka yang sedang sakit. Sambil duduk, Ustadz Ilyas menyuguhkan sedikit makanan ringan dan juga minuman air putih berkemasan, setelah tadi sempat masuk sebentar ke dalam untuk mengantarkan makanan yang dibelinya kepada istrinya yang sedang menjaga anaknya.

"Gimana ustadz keadaan Fikri?" tanya Kak Shafy membuka pembicaraan di antara mereka.

"Alhamdulillah sedikit membaik, setidaknya tidak sekritis kemarin malam. Kemarin istri benar-benar panik melihat keadaan Fikri, untung ana langsung membawanya ke sini sehingga bisa langsung mendapatkan perawatan. Dan untungnya ana juga memilih rumah sakit ini karena pelayanannya lebih cepat dibanding rumah sakit lain." jelas ustadz Ilyas.

"Sekarang lagi tidur ya ustadz?" Haris yang bertanya kemudian.

"Iya, alhamdulillah bisa tidur dia. Padahal malam tadi dia nangis terus, sampai umminya sendiri pusing!"

"Terus kata dokter apa ustadz?"

"Yah, dia memang terkena demam berdarah dan tingkat trombosit serta leukositnya pun sangat rendah. Dokter menyuruh ana memberi makan Fikri makanan yang bergizi dan alami serta jus jambu dan tak lupa air putih. Tentu saja Fikri pun harus banyak istirahat."

"Yah, semoga saja Fikri bisa cepat sembuh."

"Amien!" jawab Ustadz Ilyas seraya tersenyum kepada mereka berdua.

Tiba-tiba pintu kamar rawat tempat anak ustadz Ilyas dirawat terbuka, kemudian keluar lah dua orang akhwat dari kamar itu. Akhwat yang pertama berjilbab dan berkerudung merah muda, sedangkan akhwat yang kedua berjilbab merah tua dipadu dengan kerudung yang juga berwarna senada dengan jilbabnya. Salah satu dari kedua akhwat itu tidak lah asing bagi Haris, beberapa hari yang lalu ia sempat bertemu dengannya ketika waktu itu si akhwat sedang berbicara dengan Devi. Ya benar, dia adalah Fatimah, akhwat yang sempat membuat Haris kagum akan keteguhannya untuk taat kepada aturan Allah pada pertemuan mereka yang sangat singkat itu. Dan kali ini, ia bertemu kembali dengannya, namun dalam suasana yang jauh berbeda dan tak terduga. Haris sendiri bingung, sedang apa ia dan temannya berada di sini.

"Abi, Fatimah pulang dulu ya? Soalnya besok ada ujian di kampus, mau belajar dulu. Ga papa kan bi?" tanya Fatimah sopan kepada Ustadz Ilyas.

Abi? Seketika itu pula Haris terkejut, ternyata Fatimah adalah anak perempuan dari ustadz Ilyas. Tapi, kalaupun begitu, kenapa setiap ia mampir ke rumah Ustadz Ilyas tidak pernah bertemu dengannya. Apa ia jarang berada di rumah?

"Iya nak, pulang saja. Ga papa kok, insya Allah abi dan ummi sudah cukup untuk menjaga Fikri di sini. Hati-hati di jalan ya, dan jangan lupa untuk beristirahat?" jawab Ustadz Ilyas.

Kemudian mereka berdua pun menyalami ustadz Ilyas dan berjalan pergi menjauhi mereka bertiga sembari mengucapkan salam yang dijawab serentak oleh mereka bertiga.
Ketika lewat di depan Haris, Fatimah sempat melihat kepada Haris dan begitupula Haris, yang membuat mereka justru saling menundukkan pandangannya. Dan kedua akhwat itu pun menghilang di ujung gang. Rasa penasaran Haris pun membuat ia tidak bisa membendung pertanyaan yang sedari tadi ingin ia ajukan pada ustadz yang ada di depannya saat ini.

"Ustadz, boleh ana bertanya?" kata Haris.

"Mengenai Fatimah tadi?" agaknya Ustadz Ilyas mengerti kebingungan di diri Haris.

"Iya ustadz! Afwan, Fatimah itu anak perempuan antum ya ustadz? Tapi kok setiap kali ana berkunjung ke rumah antum, dia ga pernah ana liat ya? Atau memang dia jarang di rumah?"

"Iya, Fatimah memang anak ana. Wajar memang antum tidak pernah melihatnya karena ia memang tidak tinggal di rumah bersama ana. Ia lebih memilih tinggal di kost semenjak awal semester tadi." jelas Ustadz Ilyas.

"Loh kenapa ustadz?" lanjut Haris penasaran.

"Katanya dia ingin belajar mandiri dan mencoba mengurus segala macamnya sendiri, masalah atau apapun itu. Yah, ana berpikir itu tidaklah begitu menjadi masalah karena memang itu mungkin bisa menjadi yang terbaik baginya. Lagipula, ia tidak seperti dulu lagi yang jauh bahkan tidak mengenal ajaran Islam. Sekarang, insya Allah ia telah menjadi seorang muslimah yang turut memperjuangkan kemenangan syariat Islam dan tegaknya Khilafah Islamiyah di bumi Allah ini. Karenanya, ana cukup merasa tenang akan dirinya dan percaya kepadanya." jelas Ustadz Ilyas panjang lebar.

"Oh iya ustadz, ana mengerti!”

“Iya ya ustadz, ana juga bingung dan kaget. Setahu ana ditambah penglihatan dari beberapa teman di kampus bahwa anak antum itu dulu kalau tidak salah memang terkesan jauh dari Islam. Bahkan, afwan ustadz, iya terkenal hedonis. Tapi, semenjak semester tadi ia berubah 180 derajat, entah apa yang terjadi? Ia mulai memakai jilbab yang benar-benar syar’I, kemudian juga perlahan-lahan meninggalkan aktivitasnya dahulu, dan masih banyak lagi aktivitas maksiatnya dulu yang ia tinggalkan. Subhanallah sekali!” kata Kak Shafy tiba-tiba.

“Itulah namanya hidayah, tidak ada seorang pun yang tahu. Kita hanya bisa mengusahakan datangnya hidayah itu, perkara Allah mendatangkannya atau tidak, itu semua adalah hak prerogatif Allah. Tidak ada seorang pun yang bisa campur tangan. Ana sendiri awalnya hampir menyerah dengan sifat dan kelakuan dia namun untungnya ana sadar bahwa ana tidak boleh menyerah dan mundur sedikit pun bahkan hingga nanti ana kembali kepada Allah. Alhamdulillah ternyata Allah menjawab segala usaha dan doa kami. Tiba-tiba ia berubah seperti itu, kemudian belajar istiqamah dan semakin mendekatkan diri kepada Islam, benar-benar nikmat yang tak ternilai harganya. Syukur kepada Allah yang tak terhingga tentu ana lantunkan!” jelas Ustadz Ilyas.

Kami berdua sepakat, memang melihat orang-orang yang kita cintai masuk ke dalam satu barisan bersama kita untuk memperjuangkan Islam merupakan salah satu nikmat yang tak ternilai harganya apalagi jika hal itu terjadi melalui usaha kita. Selain mendapatkan pahala dari Allah yang begitu banyak, kita juga akan mendapatkan kebahagiaan dengan kebersamaan kita dengan orang yang begitu kita cintai itu.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam. Begitu banyak hal dan ilmu-ilmu yang didapat dari pembicaraan dengan Ustadz Ilyas. Namun, sudah waktunya untuk kami berdua pulang, karena besok pun masih banyak amanah dakwah dan kegiatan yang menunggu. Maka mereka berdua pun berpamitan dengan Ustadz Ilyas untuk pulang, Ustadz Ilyas begitu berterimakasih akan kedatangan mereka berdua. Tak lupa, keduanya mendoakan agar Ustadz Ilyas diberikan kesabaran dan tentu saja semoga Fikri bisa sehat kembali, yang tentu saja langsung diamini oleh Ustadz Ilyas. Maka mereka pun berpisah yang ditandai dengan jabatan tangan dan ucapan salam.

Haris dan Kak Shafy langsung saja menuju tempat parkir dimana kendaraan Haris diparkirkan. Dan sesaat kemudian, mereka berdua langsung melaju menuju kos Kak Shafy. Seperti biasa, di perjalanan pun mereka sibuk ngobrol tentang berbagai macam hal dan lagi-lagi pembicaraan mereka tak terasa telah mengantarkan mereka berada di sebuah jalan besar yang walau sudah hampir tengah malam namun masih padat arus lalu-lintasnya. Wajar saja, karena jalan itu merupakan jalan utama yang sering dilalui oleh mobil-mobil maupun kendaraan yang ingin pergi keluar kota.

Saat itu, Haris mengemudikan kendaraannya agak ke samping kiri jalan dekat trotoar dengan agak lambat, tidak begitu cepat. Kemudian tiba-tiba, di belakang mereka berdua terdengar suara…

“Ciiittttttttttt….!” bunyi ban mobil direm mendadak.

“Aaaaaaaaaaa…!” diiringi oleh teriakan seorang perempuan.

Terang saja mereka berdua mendengarnya dengan sangat jelas. Seketika itu pula mereka langsung melihat ke belakang mereka, dan ternyata terjadi kecelakaan tidak jauh di belakang mereka. Entah kenapa, hati Haris berkata bahwa ia harus menghentikan perjalanan pulangnya dan melihat kejadian itu. Kak Shafy pun setuju untuk melihat kecelakaan itu, maka setelah Haris menghentikan kendaraannya dan meletakkannya di bagian kiri jalan dekat trotoar, mereka berdua pun langsung berlari menghampiri tempat kejadian. Saat itu orang-orang yang ada di sekitar tempat itu pun mulai berlari mendatangi sebuah tubuh yang kini telah terbaring di tengah jalan.

“Ada apa pak?” tanya Kak Shafy pada seorang bapak-bapak.

Sepertinya kecelakaan dek!” jawab bapak itu singkat.

Haris kemudian langsung pergi berlari mendekati tubuh seorang perempuan yang kini tengah terbaring pingsan di tengah jalan. Orang-orang pun mulai berkerumun di sekitar Haris yang kini sudah sampai di dekat tubuh perempuan itu.

Setelah menekuri sesaat orang yang kini tengah terbaring, ia akhirnya sadar siapa yang mengalami kecelakaan. Saat itu memang keadaan sekitarnya gelap sehingga perlu beberapa saat bagi Haris untuk menyadari siapa yang mengalami kecelakaan. Namun, setelah ia melihat wajahnya yang berlumuran darah dan tengah terbaring, ia sangat terkejut. Ternyata, ia mengenal orang yang kini tengah mengalami kecelakaan itu.

Ia memang adalah seorang perempuan yang baru saja Haris kenal, bahkan baru saja sesaat tadi ia bertemu dengannya di rumah sakit. Benar, perempuan yang kini tengah terbaring diam di depannya serta berlumuran darah itu adalah Fatimah. Jilbab dan kerudung merah mudanya berlumuran darah, wajahnya pun sama. Ia diam, tak bergerak. Pingsan!

Kemudian tak jauh dari Fatimah, temannya yang tadi juga bertemu dengan Haris di rumah sakit juga ada di sana. Ia sedang terduduk sambil meringis kesakitan, untungnya ia masih sadar dan tidak pingsan seperti Fatimah.

Haris pun sadar ia harus mengambil sebuah tindakan.

“Tolong bu!” teriak Haris sambil mengisyaratkan seorang ibu-ibu yang dilihatnya berada di kerumunan itu untuk mendekatinya dan Fatimah.

“Tolong bu, dia adalah teman saya. Tolong rawat dia! Tolong ibu-ibu dan perempuan lainnya juga ikut membantu! Dan tolong dibawa ke trotoar itu terlebih dahulu!” teriak Haris kepada seluruh kerumunan sambil menunjuk ke arah yang ia maksud.

Kak Shafy juga melihat bahwa yang mengalami kecelakaan itu adalah Fatimah dan juga temannya, tentu saja Kak Shafy mengerti apa yang Haris lakukan dan juga apa yang harus ia lakukan, ia langsung bertindak.

“Pak-pak, tolong saya pak untuk mengangkat kendaraannya juga mengatur lalu lintas agar tidak terjadi kemacetan!” teriak Kak Shafy kepada kerumunan dan orang-orang di sekitarnya.

Para bapak-bapak dan laki-laki di tempat itu pun bergegas membantu Kak Shafy untuk mengatur lalu lintas yang saat itu memang terjadi kemacetan cukup panjang juga mengangkat kendaraan Fatimah yang kini saat itu berada di tengah jalan. Beberapa dari bapak-bapak itu ada yang membantu ibu-ibu yang diminta Haris mengurus Fatimah untuk mengangkatnya ke pinggir jalan dan ada pula yang membantu Kak Shafy mengatur lalu lintas di sekitar tempat kejadian itu serta mengangkat kendaraan Fatimah untuk dibawa ke pinggir jalan.

“Ada yang punya mobil? Ada yang bawa mobil? Tolong siapapun yang membawa mobil, antarkan dia ke rumah sakit terdekat!” tanya Haris cepat.

“Kami membawa mobil! Biar antar memakai mobil kami saja!” jawab seorang ibu.

“Dimana bu mobilnya?”

“Sebentar diambilkan suami saya dulu, ada di sana!” jawab ibu itu seraya menunjuk ke tempat dimana mobil itu berada.

Suami ibu itu pun bergegas berlari menuju tempat mobil berada. Sementara Haris langsung berlari menuju Kak Shafy kemudian memberikan kunci kendaraannya kepada Kak Shafy.

“Kak, ana ke rumah sakit dulu! Sekalian memberikan kabar kepada Ustadz Ilyas! Antum di sini mengurus yang tersisa ya?” kata Haris dengan tergesa-gesa.

“Ya, hati-hati!” jawab Kak Shafy singkat, ia mengerti.

Haris kemudian berlari kembali menuju tempat Fatimah, ternyata ketika itu Fatimah dan temannya sudah dimasukkan ke dalam mobil. Haris pun juga masuk ke dalam mobil, dan duduk di tempat duduk paling belakang. Sedangkan Fatimah dibaringkan di tempat duduk tengah mobil dan kepalanya dipangku oleh temannya yang juga duduk di sana. Dan ibu tadi duduk di depan, di samping suaminya yang menjadi supir.

Perjalanan menuju rumah sakit pun dimulai, sang bapak berusaha mengemudikan mobil secepat mungkin namun tetap berhati-hati. Haris mengambil hpnya, ia bermaksud untuk menghubungi Ustadz Ilyas, mengabarkan hal ini namun sayangnya hpnya mati, baterainya habis. Terpaksa ia nanti harus memberitahukan Ustadz Ilyas langsung ketika sudah sampai di rumah sakit.

Keheningan agaknya mengelilingi mereka sepanjang perjalanan itu. Pasangan suami-istri yang berada di depan kelihatan tegang sambil terus berkonsentrasi penuh dengan jalan yang dilalui. Sedangkan di tempat duduk tengah, Fatimah yang sedari tadi masih pingsan ditemani dengan temannya yang juga diam seribu bahasa. Tangannya sesekali mengusapkan tisu ke wajah Fatimah untuk membersihkan darah yang mengalir keluar dari beberapa luka di wajahnya. Dan Haris pun masih bingung merenungi apa yang sedang terjadi ini, ia pun diam tak tahu harus berkata apa. Ia hanya berharap semuanya baik-baik saja.

Perjalanan mereka menuju rumah sakit menghabiskan waktu sekitar 15 menit, ketika sudah tiba di rumah sakit. Fatimah langsung dimasukkan ke dalam ruang UGD ditemani dengan temannya serta pasangan suami istri tadi. Sedangkan Haris, ia langsung berlari secepat mungkin menuju ruangan tempat anaknya Ustadz Ilyas dirawat untuk memberitahukan apa yang terjadi dengan Fatimah.

Sesampainya di sana, Haris pun menjelaskan semuanya kepada Ustadz Ilyas dengan cepat dan singkat. Kemudian, tentu saja Ustadz Ilyas langsung menuju ruang UGD tempat Fatimah mendapatkan perawatan bersama Haris. Ketika sampai di sana, dilihatnya dibalik tirai yang sedikit terbuka Fatimah sudah mendapatkan perawatan dari para dokter dan suster, sedangkan temannya ada di sampingnya dan juga dirawat oleh para suster untuk mengobati luka-lukanya yang tidak terlalu parah dibandingkan dengan Fatimah. Ustadz Ilyas menanyakan bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi kepada Haris, juga kepada pasangan suami-istri yang tadi ikut mengantarkan Fatimah ke sini. Tapi tidak ada seorang pun yang mengetahui bagaimana kejadian sebenarnya. Satu-satunya yang bisa diharapkan untuk menceritakan kejadian sebenarnya hanyalah temannya Fatimah yang ikut bersama Fatimah dan juga mengalami kejadian itu.

Kemudian tak lama, temannya Fatimah pun diperbolehkan suster untuk sementara keluar dari ruangan kecil tempat Fatimah dirawat yang kemudian tirainya ditutup sepenuhnya oleh suster itu. Temannya Fatimah itu pun duduk di tempat dimana Haris dan Ustadz Ilyas serta suami-istri tadi berada. Ustadz Ilyas pun langsung menanyakan kepadanya apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka berdua. Temannya Fatimah itu yang kemudian Haris ketahui bernama Zahra menceritakan semua yang terjadi sambil duduk lemah di kursi rumah sakit berwarna hitam itu. Ia pun menceritakan semuanya, bagaimana ketika mereka ingin pulang ternyata ada sms datang dari ustadzah mereka untuk mengambil sesuatu di rumah beliau untuk persiapan acara kemuslimahan beberapa hari lagi, kemudian bagaimana mereka kemudian pulang dari sana dan semuanya berjalan biasa-biasa saja. Hingga mereka sampai di jalan utama tempat terjadinya kecelakaan itu, yakni ketika mereka berdua baru saja belok kiri dari tikungan dan memasuki jalan utama itu, tiba-tiba di samping kanan mereka ada sebuah mobil yang melaju dengan sangat cepat dan ugal-ugalan menabrak mereka. Mereka pun terlempar, namun yang paling parah adalah Fatimah karena bagian kanannya tepat ditabrak oleh mobil itu dan membuatnya seketika itu juga jatuh ke depan agak jauh dari Zahra dan kendaraanya.

“Astaghfirullah!” kata-kata yang terlempar dari mulut ustadz Ilyas setelah mendengarkan penuturan dari Zahra.

Haris pun mendengarkan dengan seksama kejadian yang diceritakan Zahra, ia berharap bahwa Kak Shafy yang ditinggalkannya di sana bisa mengurus semuanya termasuk permasalahan orang yang menabrak Fatimah dan Zahra ini.

“Ya sudah dek, kamu istirahat saja! Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk kita semua! Amien!” kata Ustadz Ilyas.

“Terima kasih ustadz!”

Tiba-tiba tirai terbuka dan seorang dokter yang tadi ikut merawat dan menangani Fatimah berjalan pelan ke arah mereka.

“Maaf, diantara anda siapa yang merupakan saudara atau keluarga korban?” tanya dokter itu singkat.

“Saya ayahnya dok! Bagaimana keadaan anak saya dok?”

“Dia masih pingsan, mungkin terkena gegar otak ringan akibat benturan yang terjadi di kepalanya. Tapi ada lagi yang lebih penting dan harus kita pikirkan!”

“Apa itu dok?” tanya Ustadz Ilyas cemas.

“Dia banyak kehilangan darah pak! Bekas jahitan pada luka yang ada di perut bagian kanannya ternyata membuka sedikit, mungkin diakibatkan benturan juga. Dari bekas luka itu lah darah paling banyak mengalir keluar. Selain itu tangan kanannya juga patah sedangkan kaki kanannya mengalami luka yang cukup besar dan ini pun mengeluarkan darah yang banyak. Sedangkan bagian kiri tubuhnya secara umum tidak begitu parah hanya luka-luka kecil biasa! Dan yang terakhir adalah itu tadi, anak anda mengalami gegar otak ringan sehingga pingsan!” jelas dokter itu.

“Astaghfirullah! Sekarang sebaiknya bagaimana dok?” berusaha meyakinkan suara yang keluar dari mulutnya.

“Kami perlu memberikan transfusi darah tambahan kepada anak bapak, karena sementara kami berusaha menutup luka-lukanya, darahnya akan terus mengalir keluar. Maka, untuk menjaga kondisi tubuhnya agar tidak kekurangan darah lebih jauh lagi, kami harus memberikan transfusi darah.”

“Lakukan saja dok, kalau itu memang yang terbaik untuk anak saya!”

“Tapi ada sedikit masalah pak! Kami sebelumnya meminta maaf atas pelayanan yang kurang baik ini pak!”

“Ada apa lagi dok?” Ustadz Ilyas berusaha tenang.

“Sekali lagi kami minta maaf, tapi saat ini rumah sakit sedang mengalami kekosongan stok darah yang diperlukan oleh anak anda!” jelas dokter itu dengan raut wajah yang menyiratkan seakan-akan ia meminta maaf kepada Ustadz Ilyas.

“Astaghfirullah, Ya Allah!” Ustadz Ilyas pun terduduk lemas di tempat duduk di belakangnya. Memegang kedua kepalanya dan berusaha berpikir serta meresapi semua yang terjadi.

“Apakah bapak atau mungkin keluarga yang lain punya golongan darah yang sama dengannya dan dalam keadaan sehat sehingga bisa mendonorkan darah kepadanya?” dokter itu bertanya lagi.

“Tidak ada dok, golongan darah saya tidak sama dengannya. Ibunya juga, sedangkan keluarganya yang ada di sini hanya saya dan istri saya saja!”

“Begitu ya. Maka, kita terpaksa mencari pendonor lain! Namun masalahnya hal itu tidak akan mudah dan perlu waktu, karena golongan darahnya termasuk golongan darah yang sulit untuk dicari. Sedangkan yang akan mendonorkan darahnya pun harus memenuhi beberapa syarat!”

“Golongan darahnya apa dok?” tanya ibu yang tadi ikut mengantarkan Fatimah ke rumah sakit.

“AB bu!” jawab dokter itu singkat.

Haris tersentak kaget.

Saya juga tidak cocok. Suami saya juga!” sesal ibu itu.

“Saya cocok dok! Darah saya AB!” kata Haris tiba-tiba.

Serentak seluruh orang yang berkumpul di sekitarnya pun terkejut.

“Benarkah darah anda AB?” tanya dokternya lagi, meyakinkan.

“Iya dok!” jawab Haris mantap.

“Baik, kalau begitu kita harus secepatnya melakukan pemeriksaan kelayakan apakah anda bisa mendonorkan darah anda! Jika ternyata bisa, maka kita akan mulai melakukan proses pendonoran darah kemudian mendonorkannya kepada dik Fatimah!”

“Baik dok!”

Maka, Haris pun berjalan mengikuti dokter itu dan pergi ke sebuah laboratorium rumah sakit itu untuk melakukan tes kelayakan apakah ia bisa mendonorkan darahnya atau tidak. Setelah dilakukan tes kelayakan, untungnya Haris memenuhi seluruh prosedural dan syarat kesehatan untuk bisa mendonorkan darahnya, maka jadilah malam itu ia mendonorkan darahnya untuk Fatimah. Ustadz Ilyas tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih kepada Haris dan juga Allah atas apa yang Haris lakukan atas izin Allah untuk membantu anaknya itu.

Setelah proses pendonoran darah selesai, Haris pun kembali ke ruangan tempat Fatimah dirawat, berkumpul kembali bersama rombongan yang sedari tadi menunggui Fatimah. Ia duduk sambil memakan beberapa roti serta air susu untuk mengembalikan energi tubuhnya setelah tadi mendonorkan darahnya. Dilihatnya tirai ruangan kecil tempat Fatimah dirawat tertutup kembali, sepertinya dokter dan para suster kembali berusaha merawat Fatimah.

“Subhanallah, Allahu Akbar, Astaghfirullah!” ucap Ustadz Ilyas seraya duduk bersandar di sebelah Haris.

“Astaghfirullah!” dzikir itu kembali diucapkannya.

“Ustadz, istri antum udah diberitahu tentang keadaan Fatimah?” tanya Haris.

“Belum, nanti saja ana beritahu. Ana takut mengganggu dia yang sedang merawat adiknya Fatimah!”

“Jadi beliau belum tahu sama sekali tentang keadaan Fatimah?”

“Ia belum tahu. Karena tadi ana keluar ruangan cuma minta izin untuk berbicara dengan antum!”

“Oh begitu ya ustadz?”

“Yah, setidaknya nanti jika tidak ada yang perlu dikhawatirkan dan keadaan Fatimah sudah membaik baru ana akan memberitahukan dan menjelaskan kepadanya apa yang terjadi. Kasihan dia, sudah beberapa hari ini tidak bisa tidur karena merawat si kecil!”

“Yang sabar ya ustadz? Insya Allah semua pasti ada hikmahnya?”

“Ya, Insya Allah. Mungkin ana melakukan begitu banyak dosa kepada Allah hingga Allah memberikan ana peringatan seperti ini. Semoga saja ana dan keluarga ana diampuni oleh Allah!”

“Amien. Insya Allah ustadz!”

“Dan ana pun berterima kasih banyak kepada antum atas bantuannya!” kata ustadz Ilyas seray tersenyum kepada Haris.

“Afwan, sama-sama ustadz! Tapi ana salut sekali dengan antum. Biasanya jika ada orang yang diterpa berbagai masalah seperti ini, kebanyakan dari mereka tidak bisa bersikap tenang bahkan cenderung emosi! Namun antum berbeda, antum bisa bersikap lebih tenang walau berbagai masalah datang bertubi-tubi! Ana salut!”

“Alhamdulillah ana masih diberikan Allah ketenangan seperti tadi!”

“Tapi, apa antum tidak takut jika mungkin sesuatu yang lebih besar terjadi pada Fatimah hingga antum bisa bersikap setenang itu? Tidak seperti orang lain yang emosional setiap kali menghadapi masalah seperti ini?”

“Akhi, sejatinya ana takut! Takut sekali jika Fatimah merasakan kesakitan yang lebih daripada ini, atau mungkin jika Fatimah sampai batas waktunya di dunia ini dan dipanggil oleh Allah. Seandainya bisa, tentulah ana rela mengorbankan diri ana agar ana saja yang sekarang terbaring di sana dengan badan penuh luka, ataupun seandainya tiba batas waktu itu, maka ana rela menggantikan kehidupan ana untuknya, untuk Fatimah. Namun sayangnya, semua itu tidak bisa kita lakukan, karena setiap manusia telah tergambar dengan jelas langkah-langkah kehidupannya!”

“Anak itu adalah titipan, amanah dari Allah. Ana sangat mencintainya, sangat menyayanginya! Namun, rasa cinta dan rasa sayang kepadanya tidaklah membuat ana tidak ingin kehilangannya sama sekali jika memang sudah tiba batas waktunya.

Seharusnya kita paham bahwa anak atau apapun yang kita miliki saat ini sesungguhnya semua milik Allah, maka menjadi hal yang wajar jika Allah ingin mengambilnya sewaktu-waktu karena itu memang hak-Nya! Bahkan kita pun seharusnya jangan sampai menjadikan cinta kepada anak atau hal lainnya melebihi cinta kepada Allah, Rasulullah serta agamanya. Yakinlah bahwa Allah itu Maha Pencemburu dan tentunya ia akan marah jika cinta kita kepadaNya tidak lebih dari yang lain bahkan dinomor sekiankan! Cukup percaya kepada Allah, ia pasti akan memberikan kita yang terbaik!”

“Hmm, iya ustadz! Ana mengerti! Banyak sekali pelajaran yang bisa kita petik dari berbagai kejadian malam ini!” sahut Haris yang kembali merasakan bahwa ia mendapatkan pelajaran yang begitu berharga malam ini.

Tiba-tiba tirai ruangan tempat Fatimah dirawat terbuka, dan sekali lagi dokter yang tadi berbicara kepada mereka kembali menghampiri mereka lagi. Spontan Haris dan Ustadz Ilyas berdiri menghadapi kedatangan dokter itu.

“Bagaimana keadaannya Fatimah dok?” tanya Ustadz Ilyas tanpa basa-basi.

“Alhamdulillah pak! Bapak tenang saja, keadaannya sudah membaik! Luka-luka sobekan di tubuhnya sudah kami jahit semua sehingga pendarahan pun sudah berhenti. Pendonoran darah juga sudah kami lakukan jadi kita tidak perlu takut lagi akan terjadi kekurangan darah padanya. Seluruh luka yang ada di tubuhnya sudah kami tangani, hanya saja ia masih pingsan dan mungkin perlu beberapa hari lagi ia baru bisa siuman! Sabar ya pak, yang penting sekarang keadaannya sudah membaik?”

“Begitu ya dok?”

Alhamdulillah ya Allah!” ucap Ustadz Ilyas kemudian bersujud syukur kepada Allah di lantai rumah sakit yang dingin itu.

Haris pun memegangi tubuhnya ustadz Ilyas, dalam hati ia pun sangat bersyukur bahwa Allah masih memberikan keselamatan bagi anaknya, terlebih ia pun berterima kasih kepada Allah dan juga Ustadz Ilyas karena sekali lagi ia telah diajarkan tentang arti sebuah kata, yakni cinta. Begitu banyak pelajaran dan hikmah yang didapatkannya pada malam hari ini.

Malam yang penuh dengan bintang-bintang cantik nan kemilau di angkasa sana. Senantiasa berdzikir, bersujud kepada Sang Pencipta yang bahkan kemilaunya mengalahkan terangnya matahari sekalipun. Sungguh alam ini benar-benar cantik dan indah, sayang manusia yang ada terkadang lupa untuk bersyukur kepada Allah! Menyedihkan…

|||

Tidak ada komentar:

Posting Komentar