Jumat, 04 Februari 2011

Tak Apa, Semuanya Akan Menjadi Baik (Versi Novel)


Suara deru angin bersahutan di luar sana, agaknya memang benar apa yang diberitakan oleh berbagai media informasi baik elektronik, cetak, dan online bahwa kota-kota di Jawa Timur akan menghadapi serbuan angin-angin yang cukup kencang. Tak terkecuali dengan kota tempat Alfan berada sekarang yakni Kota Surabaya, kota yang terkenal dengan mobilitas penduduk yang sangat tinggi, perkembangan kehidupan masyarakat yang cukup cepat karena merupakan salah satu kota besar di Indonesia, dan tentu saja merupakan salah satu kota yang memiliki udara yang cukup panas.
            Alfan duduk santai di depan televisi sambil meminum teh yang telah disediakan untuknya pagi hari itu. Angin-angin masih bersahutan seru di luar sana, pohon-pohon melambai-lambai menerima terpaan angin-angin yang belum terlihat tanda-tandanya untuk berhenti bertiup dengan kencang. Ia sedang berada di rumah salah satu keluarganya di kota itu, liburan semester kampusnya yang sedang berlangsung memungkinkan ia untuk berkunjung ke rumah keluarganya itu, sekedar bersilaturahim saja. Karena di pulau Jawa itu hanya keluarganya inilah yang ada di sana, sedangkan sisanya tinggal di tempat kelahirannya, hampir semuanya!
            Tiba-tiba didengarnya suara hentakan kaki menuruni tangga menuju ruang keluarga tempat ia berada sekarang...
            “Kak, ayo siap-siap!” kata Zalda tiba-tiba, sepupu perempuan Alfan yang masih berumur tujuh tahun itu.
            “Siap-siap apanya?” tanya Alfan seraya mengalihkan pandangan matanya dari televisi dan memandangi wajah lucu sepupunya itu.
            “Kita mau jalan-jalan ke Hi-Tech kata mamah. Sekalian habis itu ke tempat kerjanya mamah.”
            “Ngapain?”
            “Mau beli laptop katanya! Udah kak, ayo ganti baju sana, entar ditinggalin loh!” desak adik sepupunya itu.
            “Iya, iya ndut!” kata Alfan, karena memang adik sepupunya itu punya badan yang agak gendut dan pipi yang tembem hingga bisa dijamin membuat gemas tiap orang yang melihatnya.
            Zalda pun kembali naik ke lantai atas, sedangkan Alfan bergegas masuk ke kamar tamu di rumah itu tempat ia tidur dan kemudian mengganti pakaiannya. Tak lama, dirinya bersama Zalda dan kakak perempuannya sekaligus sepupu perempuan Alfan serta ibu mereka melaju menuju Hi-Tech Surabaya dengan Alfan sebagai supir mobilnya.
            Jalanan yang penuh dan macet seperti biasa selalu menghiasi kota ini, begitu pula dengan jalanan yang harus dilalui oleh Alfan bersama keluarganya. Perjalanan yang harusnya dilalui dengan waktu sekitar setengah jam, kini terpaksa harus dilalui dengan waktu lebih dari satu jam. Alfan sempat kesal sekaligus prihatin dibuatnya, karena ternyata kemacetan yang terjadi disebabkan oleh sebuah kecelakaan. Dari radio mobil yang didengarnya dan kebetulan menyiarkan kejadian tersebut karena menerima telepon dari seorang pengguna jalan yang berada tepat di sana, kecelakaan itu terjadi karena sebuah sepeda motor yang melaju kencang tiba-tiba menabrak sebuah lubang di jalan hingga menjadi tidak seimbang dan akhirnya menabrak pembatas jalan. Tidak hanya itu, seorang pengemudi mobil yang berada di belakangnya juga terpaksa mengerem mobilnya secara mendadak untuk menghindari kecelakaan tersebut. Namun malangnya, akibat pengereman secara mendadak itu bagian belakang mobilnya ditabrak oleh mobil lain yang berada di belakangnya sehingga temannya yang duduk di belakang terkena serpihan kaca mobil yang pecah dan terluka di beberapa bagian di punggung dan wajahnya. Begitu pula dengan pengemudi yang tidak sengaja menabraknya, ia pun terluka di bagian wajah, dada, serta tangannya karena serpihan kaca depannya yang juga pecah akibat menabrak mobil di depannya. Sedangkan si pengemudi sepeda motor terluka di bagian sikunya dan wajahnya karena terkena serpihan pecahan kaca helm yang dipakainya bahkan kakinya pun patah karena terantuk pembatas jalan dengan keras. Dari laporan yang diberikan oleh orang yang menelepon ke stasiun radio itu, mobil ambulans sudah dipanggil namun sayangnya akan sedikit lambat karena kemacetan yang terjadi. Namun, setidaknya polisi sudah berada di sana untuk mengatur arus lalu-lintas yang macet luar biasa akibat kecelakaan tersebut.
            “Inilah pemerintah! Nunggu terjadi kecelakaan dulu baru kemudian akan menjalankan program perbaikan jalan! Mank harus nunggu ada masyarakat yang mati dulu baru menjalankan satu kebijakan?” protes Alfan.
            “Iya sih! Pasti uang terus alasannya, anggarannya ga ada lah, nunggu kiriman dari pusat, dan lain-lain! Mank udah ga cukup lagi ya uang yang kita kasih waktu bayar pajak?” Tante Lili angkat bicara.
            “Pasti ga cukup lagi, kan kebanyakan dikorupsi semua!” jawab Alfan.
            “Iya, bener! Dasar aneh Indonesia ini, hukum bisa diperjual belikan dengan mudah! Koruptor bisa lolos hanya dengan membayar para aparat keamanan, hukum bisa berubah-ubah sesuai banyaknya uang! Payah!” protes Tante Lili lagi.
            Memang, Indonesia yang katanya demokratis ternyata semua hanya bohong semata. Demokratis bagi rakyat kecil, yang tidak punya uang banyak namun tidak berlaku bagi mereka-mereka yang punya uang banyak. Hukum tampak begitu gagah di depan rakyat kecil, tapi kalau sudah berhadapan dengan yang punya banyak kekuasaan, uang, modal usaha, dan sejenisnya seolah-olah ia hanya seorang banci yang tidak berani menyentuh mereka.
            Indonesia, Indonesia...
            Sampai kapan engkau mau mempertahankan sistem kehidupan bernama demokrasi ini yang sudah jelas-jelas rusaknya?

|||=|||

            “Gimana Fan kalau yang ini?” tanya Tante Lili sambil tangannya menunjuk sebuah laptop yang dipamerkan di toko komputer itu.
            Alfan sejenak mengamati laptop yang dimaksud oleh tantenya, kemudian membaca spesifikasi yang tertera dibrosur toko itu dan bertanya kepada seorang karyawan toko yang mendampingi mereka sedari tadi tentang laptop tersebut.
            “Yah, ga masalah sih! Bagus aja Mah!” kata Alfan kepada Tante Lili.
            Dia biasa memanggil Tante Lili dengan sebutan Mamah Lili, karena sejak kedua orang tuanya meninggal pada waktu ia berumur dua tahun dulu, Tante Lili lah yang merawat dan menjaganya hingga ia kuliah. Karena itulah ia sudah menganggap Tante Lili seperti ibu kandungnya sendiri, begitu pula Tante Lili, baginya Alfan sudah seperti anaknya sendiri.
            Ketika ia lulus SMA lah kemudian ia memutuskan untuk pergi ke luar pulau untuk melanjutkan pendidikannya di bangku kuliah, hingga pada akhirnya ia sampai di Malang, tempat ia kuliah sekarang. Namun, secara bersamaan, Tante Lili beserta keluarganya pun pindah ke Kota Surabaya karena pekerjaan suaminya yang menuntut keberadaannya di Surabaya. Jadilah jarak antara mereka tidak terpaut begitu jauh dan memudahkan Alfan untuk sesekali berkunjung ke tempat tantenya itu.
            “Kalo dari segi perbandingan harga memang lebih murah ini, dan kalau menimbang kebutuhan Mamah untuk kerja, Alfan yakin spesifikasi laptop ini memadai untuk hal tersebut!” jelas Alfan singkat.
            “Oke, kalau begitu Mamah Lili ambil yang ini aja ya?” tanya Tante Lili lagi, sekedar untuk lebih meyakinkan.
            “Yup, ga masalah!” jawab Alfan dengan yakin.
            Akhirnya setelah melakukan transaksi pembayaran laptop, mereka pun pergi meninggalkan toko tersebut. Tante Lili menawari mereka untuk makan terlebih dahulu sebelum meninggalkan Hi-Tech, tentu saja Alfan dan kedua adik sepupunya menyetujuinya. Jadilah mereka berjalan menuju salah satu tempat makan di dalam gedung tersebut.
            Ketika sudah sampai di sebuah tempat makan di dalam gedung itu, Alfan memesan nasi goreng sosis, sedangkan kedua adik sepupunya memesan makanan tahu telur khas Surabaya, begitu pula dengan Tante Lili, ia memesan masakan yang sama dengan kedua anak perempuannya. Mereka berempat pun kemudian makan dengan lahapnya.
            Saat sedang asyik-asyiknya menyantap masakan yang ada di depannya, handphone milik Alfan berbunyi, menandakan ada sebuah telepon untuknya. Dilihatnya nama si penelepon, ternyata tertulis di sana nama perusahaan kedua orang tuanya, artinya yang menelepon ini adalah orang-orang perusahaan. Alfan bertanya-tanya dalam hati, ada apa ia ditelepon. Biasanya yang menghubungi dan memberikannya seluruh informasi terkait kemajuan perusahaan kedua orang tuanya itu adalah Paman Pras, sahabat baik sekaligus guru ayahnya dalam berbisnis. Paman Pras inilah yang dititipi oleh kedua orang tuanya perusahaan tersebut, Paman Pras mengelola dan menjaga perusahaan itu hingga tiba saatnya nanti Alfan benar-benar siap dan pantas untuk memegang seluruh roda kebijakan di perusahaan warisan kedua orang tuanya itu.
            Segera saja ia mengangkat telepon itu.
            “Assalamua’laikum!” kata penelepon di seberang sana.
            “Waalaikumussalam!” jawab Alfan.
            “Benar ini nomornya Mas Alfan?”
            “Benar, ini orang-orang perusahaan ayah saya kan?”
            “Iya benar!”
            “Maaf, ada apa ya menelepon saya? Bukannya jika ingin mengabarkan terkait keadaan perusahaan bisa melalui Paman Pras?” tanya Alfan penasaran.
            “Maaf mas, ada sesuatu yang sangat penting sekali yang harus saya beritahukan kepada Mas Alfan!” jawab suara itu dengan tenang.
            “Tentang apa ya? Dan dengan siapa saya sedang berbicara?” tanya Alfan lagi.
            “Nama saya Setyo, asisten pribadi Pak Pras!”
            “Oh, Pak Setyo! Ada apa ya pak?”
            “Maaf Mas Alfan kalo hal ini terlalu mendadak, tapi Pak Pras meminta Mas Alfan untuk segera pulang ke Banjarmasin hari ini juga!”
            “Hah, memangnya ada apa?” tanya Alfan lagi, kaget. Tidak biasanya Paman Pras menyuruhnya pulang seperti itu.
            “Pak Pras terkena serangan jantung dan saat ini sedang dirawat di rumah sakit. Beliau meminta kepada Mas Alfan untuk segera pulang hari ini juga kalau bisa! Maaf kalau hal ini mendadak!” kata Pak Setyo.
            Sontak Alfan pun kaget bukan main. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Paman Pras terkena serangan jantung, padahal baru beberapa hari ia ditelepon Paman Pras dan dari suaranya ia terlihat baik-baik saja, sama sekali tidak terdengar seperti orang yang sakit. Alfan tahu, ia harus secepatnya pulang, kalau bisa hari ini juga ia harus pulang. Paman Pras orang yang juga sangat penting baginya, jika tidak ada Paman Pras, tentulah perusahaan milik kedua orang tuanya itu tidak bisa bertahan bahkan berkembang seperti sekarang ini.
            “Baik, saya akan segera pulang hari ini! Tolong beritahukan hal ini kepada Pak Pras, dan tolong Pak Setyo terus memberikan saya kabar tentang keadaan Pak Pras!” katanya kepada Pak Setyo.
            “Baik, saya akan segera memberikan kabar kepada Pak Pras! Nanti akan saya kirim sms kepada Mas Alfan tentang kondisi Pak Pras sekaligus ruangan rumah sakit tempat beliau dirawat. Oh iya, beliau dirawat di rumah sakit Suaka Insan!”
            “Begitu ya, baiklah! Tolong sampaikan kepada pihak rumah sakit untuk memberikan beliau pelayanan yang terbaik, masalah biaya tidak perlu dipikirkan! Biar perusahaan yang menanggung! Itu dulu, saya langsung memesan tiket pesawat dan pulang! Terima kasih!” kata Alfan dengan tergesa-gesa.
            “Saya tunggu Mas Alfan, nanti kabari saya jam kedatangan Mas Alfan di bandara, biar mobil perusahaan menjemput Mas Alfan!”
            “Baik! Wassalamua’laikum!”
            “Waalaikumussalam.” dan pembicaraan itu pun berakhir.
            Alfan benar-benar masih terkejut akan kabar yang barusan ia terima, ia sangat berharap bahwa Paman Pras baik-baik saja.
            “Ada apa Fan?” tanya Tante Lili, yang sedari tadi memperhatikannya.
            Alfan pun menjelaskan kabar yang baru saja ia terima, termasuk keadaan Paman Pras dan rencananya untuk pulang segera hari ini juga. Tante Lili mengerti keadaannya, maka ia pun segera mengajak Alfan untuk membeli tiket pesawat sekarang juga. Jadilah usai makan di tempat makan itu, mereka berempat tidak jadi pergi ke tempat kerja Tante Lili, seperti yang sudah direncanakan awalnya. Namun mereka langsung ke kantor travel langganan Tante Lili untuk membeli tiket pesawat menuju Banjarmasin hari itu juga.
            Alfan benar-benar berharap masih ada tiket pesawat untuk penerbangan hari itu menuju Banjarmasin, ia benar-benar ingin secepatnya kembali ke Banjarmasin. Perasaannya benar-benar tidak enak sekarang...

|||=|||

            Walau berusaha sekuat tenaga untuk ditahannya, namun buliran mutiara-mutiara bening tetap mencari celah di pelupuk matanya untuk keluar. Ternyata begitu menyakitkan kehilangan seseorang yang sangat berharga bagi kita, sangat sedih ternyata. Begitu pula yang dialami oleh Alfan saat ini, ia duduk bersimpuh dihadapan seseorang yang tubuhnya kaku tak mampu bergerak lagi. Matanya menutup damai dan tidak ada lagi petuah-petuah nasihat yang keluar dari bibirnya. Ia diam, sangat diam, yang ia lakukan hanya merebahkan dirinya. Tubuh hingga kepalanya dibalut sebuah kain putih bernama kafan.
            Alunan ayat suci Al-Qur’an memenuhi ruangan itu, orang-orang datang silih berganti untuk melayat sebuah tubuh yang terbujur kaku tak bergerak. Doa-doa disampaikan agar orang yang kini tubuhnya terbujur kaku itu mendapat tempat yang mulia di sisi Allah, Sang Pemilik Kehidupan ini.
            Bagi Alfan, hari ini kembali mengingatkannya pada bayangan gelap ingatan masa lalu yang seringkali hadir dipikirannya. Bayangan ketika ternyata yang terbujur kaku di hadapannya adalah kedua orang tuanya, ia yang dahulu tak mengerti apa-apa. Yang ia tahu saat itu kedua orang tuanya sedang tidur dan sebentar lagi akan jalan-jalan untuk waktu yang sangat lama, setidaknya itu yang dikatakan Tante Lili ketika si kecil Alfan bertanya tentang kedua orang tuanya itu.
            Sekali lagi dalam hidupnya hal itu terjadi lagi, bedanya kali ini memang bukan menimpa keluarganya sendiri namun menimpa seseorang yang sudah sangat dianggapnya sebagai seorang keluarga, bahkan seorang ayah. Banyak sekali yang telah diajarkan orang yang kini terbujur kaku dihadapannya kepadanya, ia tidak mungkin bisa menjadi seseorang yang seperti ini jika bukan ilmu-ilmu dan pengalaman yang dibagikan oleh orang yang sudah dianggapnya seperti ayahnya sendiri ini. Tidak mungkin bisa tanpa Paman Pras!
            Paman Pras lah yang terbujur kaku dihadapannya sekarang, wajahnya damai dan teduh. Wibawanya bahkan tak meninggalkannya walau kini ia sudah kembali kepada penciptanya. Alfan masih tidak percaya apa yang terjadi sekarang, namun sayangnya inilah kenyataannya. Kenyataan bahwa Paman Pras telah meninggalkannya untuk selamanya.
            Berita itu datang malam tadi, ketika tiba-tiba di waktu tengah malam Paman Pras mengeluh akan jantungnya yang tengah kesakitan. Alfan dan Pak Setyo yang menungguinya pun bergegas memanggil dokter, kemudian diputuskanlah bahwa Paman Pras harus dioperasi malam itu juga. Maka jadilah malam itu juga Paman Pras masuk ruang operasi untuk menerima operasi jantung.
            Alfan dan Pak Setyo menunggui di luar ruang operasi. Alfan yang sudah cukup kelelahan sehabis perjalanan di pesawat akhirnya tertidur. Hingga kemudian Pak Setyo yang berwajah sangat pucat dan terlihat sangat cemas membangunkannya dan memberitahukannya bahwa Paman Pras baru saja meninggal dunia, nyawanya sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Terang saja saat itu ia begitu kaget dan shock.
            Malam itu juga, usai mengurus seluruh administrasi rumah sakit, jenazah Paman Pras bisa dibawa pulang. Kemudian usai shalat subuh, jenazahnya dimandikan dan dikafani. Rencananya siang ini akan dimakamkan di kota Martapura, di pemakaman yang sama dengan kedua orang tuanya Paman Pras dimakamkan.
            Rasanya hari ini benar-benar menyiksa raga sekaligus jiwa Alfan. Begitu besar rasanya berita yang diberikan Allah dihadapannya kali ini. Ia hanya berdoa agar Allah memberikan tempat yang layak bagi Paman Pras dan memberikan kekuatan baginya dan keluarganya untuk senantiasa bersabar.
            Tiba-tiba datang seorang laki-laki yang kemudian duduk bersimpuh di sampingnya...
            “Yang sabar ya Fan, kami semua turut berduka cita!” kata-kata laki-laki itu, yang suaranya cukup akrab di telinga Alfan.
            Ditolehnya ke arah orang yang berada di sampingnya, dilihatnya wajah yang sangat akrab baginya. Itu Haris, teman sekelasnya di SMA sekaligus sahabat seperjuangannya!
            “Haris? Astaghfirullah, subhanallah! Gimana antum bisa di sini?” tanya Alfan kaget, karena ia merasa tidak memberitahu siapapun tentang keadaannya kepada salah seorang dari temannya di sini, bahkan kepulangannya pun tidak ia beritahu kepada sahabat-sahabat seperjuangannya itu.
            “Ana dapat kabar dari Pak Setyo, kebetulan Pak Setyo adalah teman akrab ayah ana! Makanya kami langsung ke sini!” jawab Haris seraya menunjuk ke belakangnya.
            Alfan pun melihat ke belakang, dan kemudian ia mengerti apa yang dimaksud Haris. Teman-teman sekelasnya ditambah sahabat seperjuanganya hadir di sana, turut berduka cita dan merasakan kesedihan Alfan. Bahkan di sana hadir Kak Shafy dengan adik perempuannya, Zahratul Muslimah. Kakak pembinanya dulu yang telah memberikan begitu banyak pelajaran dan nasihat baginya.
            Sebenarnya Alfan, Haris, serta Kak Shafy sama-sama kuliah di Kota Malang. Hanya saja Alfan jarang bertemu dengan mereka berdua, karena Alfan kuliah di universitas yang berbeda dari mereka berdua. Jika Haris dan Kak Shafy ada di sini, artinya mereka pun sedang berada dalam masa libur kuliah, sama seperti dirinya.
            “Syukron, terima kasih banyak!” ucap Alfan kepada Haris.
            “Sama-sama! Semoga antum dan keluarga diberikan ketabahan ya?”
            “Insya Allah, doakan saja!”
            Kesedihan yang Alfan rasakan setidaknya sedikit berkurang atas kehadiran teman-teman dan sahabat seperjuangannya ini. Haris dan Kak Shafy bahkan adiknya ditambah sahabat-sahabat seperjuangannya bersedia mengikuti dan membantu pemakaman Paman Pras. Alfan sangat bersyukur memiliki sahabat seperjuangan seperti mereka, sepertinya tidak akan pernah lagi ia temukan pengganti mereka di tempat lain.
            Dan hari itu, ia dan teman-temannya berbagi kesedihan bersama walau hari itu hari yang cukup melelahkan dan menyedihkan bagi Alfan...

|||=|||

            Seminggu sudah semenjak meniggalnya Paman Pras, Alfan memang cukup bisa menata hatinya agar tidak larut dalam kesedihan yang mendalam. Ia sadar bahwa tiap manusia yang bernyawa pasti akan menghadapi kematian dan tentu akan kembali kepada penciptaNya. Mungkin sekarang Paman Pras, bisa jadi besok-besok adalah dirinya. Yang pasti bukan berbicara tentang kematian itu sendiri, namun apa amalan yang sudah dipersiapkan untuk menghadapi datangnya kematian yang pasti itu.
            Pasca meninggalnya Paman Pras itu pula, Alfan selama seminggu penuh ini harus mengurusi perusahaan warisan orang tuanya. Ia harus menunjuk seorang pengganti untuk menjalankan perusahaan selama ia masih kuliah dan mempersiapkan dirinya memimpin perusahaan, untungnya hal itu tidaklah terlalu sulit karena Paman Pras pada malam sebelum ia dioperasi telah memberikan banyak sekali arahan kepadanya tentang perusahaan kebanggaan Paman Pras dan kedua orang tuanya itu.
            “Untuk sementara, pimpinan perusahaan akan diamanahkan kepada Pak Setyo yang dahulunya adalah asisten pribadi Pak Pras. Saya yakin beliau sudah paham betul dengan kondisi dan seluk beluk perusahaan, bagaimana menurut bapak-bapak sekalian?” katanya di saat memimpin rapat perusahaan bersama seluruh jajaran direksi perusahaannya itu.
            “Kami setuju pak, saya lihat beliau juga orang yang baik dan bisa dipercaya. Insya Allah tidak akan ada masalah dan kami semua di sini tentunya siap membantu kapan saja!” jawab salah seorang peserta rapat itu.
            Risih juga bagi Alfan dipanggil dengan sebutan pak diusianya yang jauh lebih muda dari orang-orang yang ada dihadapannya ini. Seringkali ia hanya meminta untuk dipanggil dengan kata mas, terasa lebih akrab dengannya. Tapi tidak ada pilihan lain kali ini, ia memang harus bersikap profesional dan mengesampingkan kepentingan pribadi.
            “Bagaimana pendapat anda Pak Setyo?” tanya Alfan kepada Pak Setyo yang duduk di samping kanannya.
            “Jika itu yang terbaik maka Insya Allah saya siap dan pasti akan menjalankan amanah ini dengan sebaik mungkin!”
            “Baik kalau begitu, saya titipkan perusahaan ini sementara kepada bapak!” seraya berdiri yang diikuti dengan Pak Setyo dan seluruh peserta rapat kemudian menyalami Pak Setyo.
            Tepuk tangan kemudian menggelegar di ruangan itu, menghargai keputusan Alfan. Ia tahu betul siapa Pak Setyo dan ia yakin tidak akan memilih pilihan yang salah. Sudah menjadi kebiasaan Paman Pras untuk memilih karyawan di perusahaan itu yang memiliki pribadi yang baik dan tentunya harus taat beragama. Ini menjadi harga mati bagi Paman Pras untuk bisa meminimalisir konflik internal perusahaan, dengan tidak mempekerjakan orang-orang yang kepribadiannya buruk. Ini pula yang diajarkannya pada Alfan, dan memang Alfan benar-benar merasa dampak baiknya pada perusahaan ini.
            Usai rapat perusahaan, Alfan langsung pulang ke rumahnya. Ia masih tidak begitu ingin berinteraksi dengan dunia luar kecuali memang benar-benar penting, meninggalnya Paman Pras cukup memberikan bekas yang tidak menyenangkan di dirinya dan membuatnya malas untuk keluar rumah, ia lebih memilih untuk tinggal di dalam kamar, mengerjakan apa yang bisa ia kerjakan.
            Sambil merebahkan dirinya di atas kasur kamarnya yang sudah lama tak ia jumpai, ia memejamkan mata. Buliran mutiara hadir di sana, merembes keluar dari pelupuk matanya. Alfan mengingat kenangan bersama Paman Pras, terutama hal-hal yang sudah banyak sekali diajarkan Paman Pras kepadanya. Ia meneguhkan hati dan dirinya untuk bisa mewarisi kemampuan Paman Pras, agar menjadi seseorang yang lebih hebat daripada Paman Pras dan membuat kedua orang tuanya serta Paman Pras bangga akan dirinya.
            Tiba-tiba ia mendengar pintu kamarnya diketuk, sebuah suara memanggilnya dari luar.
            “Assalamua’laikum, Fan antum di dalam kan?” tanya suara itu.
            Alfan mencoba mengingat-ingat suara itu, tapi sia-sia. Ia sama sekali lupa dengan suara itu, yang pasti ia tahu itu suara seorang temannya namun sayangnya ia lupa siapa temannya itu. Penasaran, Alfan pun bergegas membukakan pintu kamarnya.
            “Waalaikumussalam!” kata Alfan seraya membuka pintu kamarnya yang kemudian disambut oleh sebuah wajah yang tersenyum ramah kepadanya dan tentunya membuat dirinya terkejut.
            “Rama!” kata Alfan setengah berteriak karena terkejut.
            “Halo, gimana kabarnya?” kata Rama santai.
            “Baik, ayo masuk! Tumben antum ke sini? Mendadak lagi? Ada apa?”
            “Afwan ya kemarin ana ga ikut melayat ke tempat antum! Ana turut berduka cita aja, yang sabar yah?” jawab Rama.
            “Oh iya, ga masalah! Terimakasih! Oh iya, memangnya antum kemana kemarin?”
            “Ana masih di Martapura, biasalah kuliah! Ada banyak sekali mata kuliah yang harus ana kejar, makanya ga bisa datang!” jelas Rama.
            Rama adalah salah seorang teman sekelasnya waktu di SMA dan juga merupakan partnernya dalam dakwah sekolah dulu. Ia memilih untuk kuliah di kota Banjarbaru yang kemudian mengambil Fakultas Kedokteran, fakultas yang kelihatannya benar-benar sibuk dan merumitkan. Alfan bisa memahami jika temannya yang satu itu sampai tidak bisa datang kemarin, wajar saja jika melihat bagaimana kegiatannya di sana.
            Rama dan Alfan, mereka berdua bisa dibilang merupakan pasangan emas di sekolahnya. Di dalam berbagai bidang mereka benar-benar menorehkan prestasi yang luar biasa, seperti bidang olahraga sepakbola misalnya, atau bahkan bidang akademik seperti misalnya lomba debat bahasa inggris, cerdas cermat, dan juga olimpiade. Tidak hanya sampai di sana, mereka berdua juga terkenal sebagai pasangan yang benar-benar aktif dalam berorganisasi terutama organisasi KSI (Kelompok Studi Islam) di sekolahnya. Berkat mereka, dakwah KSI di sekolah bahkan di Kota Banjarmasin berkembang pesat. Mereka begitu banyak memiliki ide dan konsep yang sungguh sangat bagus dalam gerak dakwah. Mengenai militansi dakwah dan kualitas mereka sebagai pengemban dakwah islam, tidak perlu diragukan lagi!
            Alfan memang sangat dekat dengan Rama, keduanya saling melengkapi dan menguatkan. Bagi Alfan, tidak ada yang bisa menggantikan keberadaan sahabat terbaiknya ini, begitu juga bagi Rama. Lama sekali mereka tidak bertemu, dan ketika mereka bertemu seperti ini maka akan banyak kisah yang terlontar dari mulut mereka. Mulai dari kuliah, organisasi, pengalaman dakwah, bahkan kisah cinta mereka. Karena tak ada lagi rahasia di antara mereka, Alfan merasa tenang menceritakan segala tentang dirinya dan rahasianya kepada Rama, begitu pula Rama. Karena mereka berdua sama-sama tahu, satu sama lain mampu menjaga rahasia bahkan memberikan solusi jika salah seorang mempunyai masalah.
            “Ana cuma bisa sebentar Fan, soalnya setelah ini harus balik lagi ke Banjarbaru. Ada beberapa agenda dakwah yang harus diselesaikan!”
            “Ya, ana paham! Mungkin kalau ada waktu, gantian ana yang berkunjung ke sana! Insya Allah ya?”
            “Oke, ana tunggu! Asal antum tahan aja, di kontrakan sama temen-temen yang lain!” canda Rama.
            It’s ok.” Jawab Alfan pendek seraya tersenyum pada sahabatnya itu.
            “Oh iya Fan, ada satu hal yang sepertinya perlu ana sampaikan. Mungkin waktunya kurang tepat sekarang, tapi ana takut tidak sempat menyampaikannya. Apalagi setelah ini kemungkinan antum juga akan kembali ke Jawa kan?”
            “Tentang apa Ram?”
            “Sebelumnya afwan, ana tanya dulu! Hubungan antum dengan dia gimana?”
            “Dia? Maksud antum Tara?”
            “Siapa lagi?”
            “Kalo itu, seperti yang sudah dibilang ustadz kita berdua. Ana sudah menyelesaikannya, intinya tidak ada lagi interaksi yang tidak syar’i! Itu saja!”
            “Antum, masih sama seperti dulu? Perasaan antum?”
            “Insya Allah sama! Seperti yang dulu pernah ana katakan dan ceritakan kepada antum, bahwa sepertinya Allah masih mencondongkan hati ana kepadanya, bahkan hingga saat ini. Karenanya, ana cuma perlu menjaga hati, tidak berinteraksi macam-macam dengan akhwat manapun, termasuk dirinya. Bukankah kemana condongnya hati manusia itu tergantung pada dengan siapa dirinya banyak berinteraksi?” kata Alfan parau.
            “Lagipula, kami berdua sudah berjanji, memang bukan janji yang terlalu mengikat, namun yang pasti itu tetap adalah janji. Yakni untuk saling menjaga hati, tidak tahu apakah ini benar atau tidak. Tapi selama tidak ada interaksi yang macam-macam dan tidak syar’i, maka semuanya Insya Allah beres, tidak melanggar adab pergaulan islami. Wallahu a’lam!” tambah Alfan.
            Rama tak bersuara, ia mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan Alfan. Bagi Rama, semenjak ia kuliah di luar daerah asalnya, jelas sekali begitu banyak yang berubah pada dirinya, ia benar-benar bertambah dewasa terutama dari bagaimana ia berpikir. Rama pun berpikir keras untuk menyampaikan sesuatu kepada Alfan dengan tepat, menyampaikan sesuatu yang bisa jadi akan membuat hati Alfan sakit namun harus tetap ia sampaikan demi kebaikan Alfan. Tidak ada pilihan lain, karena ia benar-benar menyayangi sahabatnya ini.
            “Ana mengerti apa yang antum pikirkan dan juga perasaan yang antum rasakan saat ini!” kata Rama tiba-tiba.
            “Ya iyalah, ana yakin itu! Dari dulu sampai sekarang, tidak ada yang lebih mengerti ana selain antum. Bahkan seringkali ana itu berpikir bahwa antum itu adalah ana, hanya saja ada dalam tubuh yang berbeda!”
            “Yah, sepertinya memang seperti itu!” kata Rama seraya tersenyum kepada Alfan.
            “Nah, ada satu hal yang ingin ana sampaikan dan ini sangat penting untuk antum. Namun, bisa jadi apa yang akan ana sampaikan ini akan membuat antum sakit hati dan sedih!” lanjut Rama dengan nada serius.
            “Ga masalah, sampaikan saja!”
            “Ini semua tentang Tara! Ana sebenarnya juga kesal, dan marah akan sesuatu yang terjadi pada diri dan perasaannya sekarang! Tara, wanita yang antum cintai dan sayangi hingga sekarang itu, wanita yang mana antum berusaha menjaga hati untuknya, ternyata ia telah melanggar janjinya kepada antum! Telah menghianati janji yang ada di antara kalian berdua!”
            “Melanggar janji kepada ana? Maksudnya?”
            “Dia.................”

|||=|||

            Semilir angin berhembus lembut menerpa wajah dan sekujur badannya yang baru saja menyembul keluar dari pintu pesawat terbang yang dinaikinya. Bunyi deru mesin sang ksatria udara membumbung tinggi menembus langit, keras dan jelas kuatnya. Alfan baru saja tiba di Bandara Internasional Juanda.
            Ia terpaksa harus kembali ke Pulau Jawa setelah kemarin pagi dihubungi oleh teman kampus sekaligus salah seorang partner dakwahnya di Malang yang menyampaikan sesuatu dan kemudian turut menambah panjang daftar masalah dan hal-hal yang membuat Alfan sedih. Setelah peristiwa meninggalnya Paman Pras, kemudian disusul dengan sebuah berita dari sahabatnya Rama yang cukup menyayat hatinya, kini berbagai masalah berdatangan di tempatnya kuliah dan harus ia hadapi. Mulai dari beberapa adik tingkatnya yang ‘bermasalah’ untuk bisa digerakkan dalam dakwah bahkan cenderung ingin keluar dari barisan dakwah dan juga acara-acara dakwah yang ternyata tidak bisa tidak memang harus ia yang harus turun langsung untuk menanganinya.
            Alfan merasa lelah sekali. Pikiran, batin, dan juga fisiknya terasa lelah dan seolah-olah ingin lari dari semua yang kini terjadi padanya. Apalagi ketika mendengar berita dari Rama, sahabat baiknya itu. Rama memang sudah menyampaikan apa yang harus disampaikannya dengan baik, namun tetap saja ia merasa sangat sakit dan sedih. Benar memang kata Rama, ini semua tentang penghianatan janji. Karena ternyata, adiknya Rama yang sering mendengar curhatan Tara yang kemudian menyampaikannya kepada Rama dan akhirnya sampailah kepada Alfan, yang kemudian tahu secara jelas bahwa Tara telah sedikit demi sedikit menyingkirkan dirinya dari hatinya dan ada yang lain yang kemudian entah sengaja atau tidak mengisi kekosongan itu.
            Hingga beberapa menit setelah Rama selesai menyampaikan hal itu, Alfan masih saja terdiam. Yang kemudian di sadarkan oleh sebuah perkataan dari ustadz mereka dulu...
            “Bukankah kita tidak berhak mengendalikan dan mendoktrin hati seseorang? Biarlah Allah yang mencondongkan hati-hati kita kemanapun Allah ingin, Insya Allah itulah yang terbaik bagi kita!” kata ustadz itu.
            Perkataan dari ustadznya itu spontan menyadarkannya. Rama yang berada di sebelahnya pun hanya bisa menutup mulut, sama bingungnya ingin berbicara apa. Kesepian pun berada di antara mereka berdua, hingga kemudian Alfan memecahkannya.
            “Tak apa, tidak masalah! Itulah adalah hak dirinya kan? Lagipula bukankah dari awal sudah ana katakan bahwa janji yang ada tidak mengikat, jadi terserah mau bagaimana. Yah, walau ana pun sama sekali tidak pernah berharap terjadi penghianatan janji seperti ini.” Kata Alfan tiba-tiba.
            “Lalu, bagaimana dengan antum? Dengan perasaan antum? Bukannya sekarang antum jelas tahu bahwa apa yang antum pertahankan dengan gigih ini ternyata tak dipertahankan dengan baik olehnya?”
            “Yah, lihat saja kedepannya gimana nanti! Toh ia belum resmi menjadi milik siapapun kan? Jadi, sepertinya masih ada kesempatan walau sedikit dan kian lama makin menipis bahkan bisa jadi menghilang! Ya ga?” kata Alfan seraya mencoba tersenyum.
            “Jadi maksud antum, antum akan terus mempertahankannya padahal sudah jelas-jelas ia menyakiti antum seperti ini?” kejar Rama.
            “Yup, bisa dikatakan seperti itu. Walau sebenarnya tidak tepat seperti itu, karena ana hanya menunggu keputusan Allah. Kemanakah Allah akan mencondongkan hati ana, maka itulah yang akan ana pertahankan. Dan pastinya, harus tetap menjaga interaksi syar’i baik itu dengan Tara maupun wanita lain!”
            Itulah jawaban yang bisa ia berikan. Memang, apa yang disampaikan oleh Rama benar-benar sempat membuat ia tak bersemangat, bahkan berkali-kali membuat ia ingin menangis. Untungnya itu semua tidak berlangsung lama dan ia pun tidak pernah menangis karena hal itu. Alfan sadar sekali bahwa tidak pantas dan tidak boleh ia jatuh karena hal ini.
            Maka, walau dengan kesedihan yang masih begitu melekat pada dirinya, ia tetap berjalan walau berat. Seolah-olah tak berhenti skenario kehidupannya, ia mendapat masalah lagi yang harus ia selesaikan. Masalah dakwah yang ada di kampusnya yang memang sangat membutuhkan dirinya untuk menyelesaikannya. Mau tidak mau, walau dalam kondisi hati, batin sesedih dan sesakit apapun, hal itu tidaklah boleh mengganggu aktivitas dakwahnya. Itu yang terpenting bagi Alfan. Apalagi di zaman Kapitalisme, Demokrasi, dls seperti ini yang benar-benar membutuhkan seorang pejuang yang tangguh.
            Usai mengambil kopernya, Alfan pun berjalan pelan menuju pintu keluar. Berharap orang itu sudah berada di luar pintu, orang yang seringkali membuatnya penasaran akan betapa misteriusnya dirinya, orang yang sedikit demi sedikit mengajarinya akan begitu banyak hal. Orang itulah yang kini akan menjemputnya di bandara, kebetulan ia sedang berada di Kota Surabaya, ada sedikit urusan dakwah yang harus ia selesaikan di sini.
            “Dimana dia ya? Apa sudah datang?” gumam Alfan seraya memandang di sekitarnya, mencari orang itu.
            “Alfan, Alfan...” tiba-tiba sebuah teriakan menyebut namanya didengar oleh Alfan.
            “Akhirnya...” gumam Alfan seraya melihat ke arah suara itu berasal.
            Seorang laki-laki yang kira-kira sebaya dengannya memakai jaket hitam bertuliskan Lembaga Dakwah Kampus mereka berdua berjalan mendekati Alfan. Spontan ketika mereka berdua berdekatan, sebuah jabatan tangan dan ucapan salam mengawali pertemuan mereka.
            “Assalamua’laikum!” ucap laki-laki itu.
            “Waalaikumussalam! Afwan, antum sudah lama menunggu ya?” jawab Alfan.
            “Tidak, tak mengapa! Bagaimana kabar antum?”
            “Baik-baik Alhamdulillah! Antum?”
            “Baik juga? Hmm, bagaimana? Kita langsung berangkat?”
            “Yap, tidak masalah!”
            Laki-laki itu bernama Ardi, teman sekampus sekaligus salah seorang partner dakwahnya di kampus. Walau keberadaan Ardi tidak begitu bisa menggantikan keberadaan Rama, namun ia bersyukur bisa bertemu dengannya. Ardi, orang yang selalu tersenyum walau sesungguhnya di matanya begitu terlihat kesedihan yang begitu mendalam. Seolah-olah tidak ada masalah, ia mencoba menjadi seseorang yang selalu bahagia dan membahagiakan orang lain. Banyak sekali pelajaran yang bisa ia ambil dari kemisteriusan dirinya, misterius karena tidak pernah ada yang tahu kisah-kisahnya termasuk kisah-kisah sedihnya. Namun, ia pasti akan selalu menghadirkan kisah-kisah terbaik di depan semua orang, kisah-kisah yang tidak akan ada dan tidak akan terlupakan tanpa dirinya. Itulah Ardi, yang senantiasa memakai topeng senyuman untuk memenuhi kesedihannya.
            “Tak cukup melihat seseorang dari luarnya saja. Tak cukup melihat seseorang dari senyumannya saja, semangat yang ada pada dirinya, dan betapa kuat dirinya. Karena bisa jadi, dibalik itu semua ada kesedihan yang begitu mendalam dibanding kita semua, kesedihan yang coba ia sembuhkan dengan untaian senyum dan semangat. Dan justru karena itulah, justru orang seperti inilah yang kan menjadi yang terkuat pada saatnya nanti!” begitu katanya, begitu apa yang dikatakan Ardi.
            “Ya, masih banyak yang memang ingin aku ketahui dari Ardi! Namun yang pasti, aku yakin apapun yang baru saja aku alami, kesedihan dan kesakitan yang baru saja menghampiriku. Semuanya pasti ada hikmah, dan itu pasti ada penyelesaiannya. Aku akan belajar sepertinya, untuk berusaha tersenyum walau keadaan apapun, hingga aku benar-benar menjadi orang yang kuat sepertinya bahkan melebihinya. Karena aku yakin, sangat yakin semuanya akan baik-baik saja. Hingga aku yakin untuk mengatakan tak apa, semuanya akan menjadi baik!” gumam Alfan di dalam hatinya.
            Mereka berdua pun menyongsong perjalanan panjang dakwah nan berat dengan senyuman dan semangat membara tak tergoyahkan, walau jelas itu hanyalah topeng. Dan dibalik topeng itu ada begitu banyak kesedihan...
            Akhirnya, kesedihan yang tersamarkan oleh senyuman...

By : Ardiannur Ar-Royya
Surabaya, pukul 12.25 wib
Sabtu, 29 Januari 2011
Novel ini aku dedikasikan secara umum untuk para aktivis dakwah agar senantiasa bersemangat dalam berdakwah walau kesedihan seberat apapun.
Dan terkhusus untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan muncul di hari ini. Pertanyaan yang muncul dari seorang sahabat terbaikku, semoga ini cukup untuk menjawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar